MANUVERNEWS.COM | BEKASI — Transparansi anggaran Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Bekasi kembali menuai sorotan tajam. Rencana Kerja Bidang Penempatan dan Perluasan Kerja Tahun Anggaran 2025 memunculkan sejumlah kejanggalan serius, mulai dari indikasi tumpang tindih kegiatan, pembengkakan anggaran layanan digital, hingga minimnya ukuran keberhasilan program penyerapan tenaga kerja.
Sorotan ini kian relevan di tengah menguatnya isu operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang serta sejumlah kepala dinas pada Kamis, 18 Desember 2025. Meski hingga kini belum ada pernyataan resmi KPK yang merinci konstruksi perkara, suasana politik dan birokrasi Kabupaten Bekasi tengah berada dalam tekanan pengawasan publik yang tinggi.
Berdasarkan data perencanaan yang dihimpun redaksi, terdapat dua pos kegiatan bernama sama, “Pelayanan Antar Kerja”, dengan nilai anggaran identik masing-masing Rp. 191.465.120. Kemunculan dua kegiatan dengan nomenklatur dan besaran yang sama ini memicu tanda tanya besar: apakah ini kesalahan perencanaan, kelalaian administratif, atau indikasi persoalan lain dalam pengelolaan anggaran?

Alih-alih memberikan penjelasan teknis yang rinci, Kepala Bidang Penempatan Kerja Disnaker Kabupaten Bekasi, Andi, justru memilih menjawab secara normatif.
“Kalau untuk duplikat nggak ada, bang. Itu data dari mana? Karena nggak sesuai dengan DPA. Coba cek saja di keuangan, anggaran yang sesuainya,” ujarnya singkat.
Pernyataan tersebut dinilai tidak menyentuh substansi persoalan, sebab yang dipersoalkan publik adalah dokumen perencanaan, bukan sekadar klaim bahwa DPA berbeda. Hingga berita ini diturunkan, Disnaker belum menunjukkan dokumen pembanding, uraian output, maupun indikator kinerja yang menjelaskan secara transparan bahwa dua kegiatan tersebut memang berbeda secara fungsi.
Sorotan berikutnya mengarah pada anggaran layanan pasar kerja online yang mencapai lebih dari Rp. 690 juta dalam satu tahun anggaran. Dana tersebut terbagi dalam dua kegiatan terpisah, yakni pemeliharaan aplikasi dan pelayanan informasi pasar kerja online.
Namun ironisnya, tidak ada penjelasan terbuka mengenai capaian konkret dari penggunaan anggaran tersebut: berapa jumlah pencari kerja yang benar-benar ditempatkan, berapa perusahaan yang aktif terlibat, serta sejauh mana aplikasi itu berdampak pada penurunan angka pengangguran di Kabupaten Bekasi.
Di tengah keberadaan platform nasional milik Kementerian Ketenagakerjaan, publik wajar mempertanyakan urgensi dan efektivitas aplikasi daerah tersebut. Apakah benar-benar dibutuhkan, atau sekadar menjadi proyek berulang berbasis anggaran?
Program Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan bagi Pencari Kerja senilai Rp. 125 juta juga tak luput dari kritik. Disnaker belum mengungkap secara terbuka jumlah peserta, metode pelaksanaan, maupun indikator keberhasilan program tersebut.
Sementara itu, Program Perluasan Kesempatan Kerja dengan anggaran Rp. 333,2 juta juga minim penjelasan. Tidak dijabarkan apakah program ini berbentuk padat karya, penciptaan wirausaha baru, atau kemitraan industri. Padahal, inilah program yang seharusnya menjadi ujung tombak penyerapan tenaga kerja di daerah dengan tingkat pengangguran tinggi seperti Bekasi.
Hal serupa terjadi pada Penyelenggaraan Unit Layanan Disabilitas Ketenagakerjaan dengan anggaran Rp. 349 juta. Hingga kini, belum ada data terbuka mengenai berapa penyandang disabilitas yang benar-benar ditempatkan bekerja, serta sejauh mana komitmen dunia usaha dilibatkan dalam program tersebut.
Ketimpangan alokasi anggaran juga tampak pada program Pekerja Migran Indonesia (PMI). Saat anggaran Peningkatan Perlindungan dan Kompetensi PMI mencapai Rp. 300 juta, justru Pemberdayaan PMI Purna Penempatan hanya dialokasikan Rp 50 juta, padahal kelompok ini kerap menghadapi persoalan ekonomi dan sosial yang kompleks setelah kembali ke daerah.
Dalam konteks yang lebih luas, sorotan terhadap anggaran Disnaker ini tidak berdiri sendiri. Isu OTT KPK yang menyeret Bupati Bekasi dan sejumlah pejabat daerah, serta kabar beredar mengenai pejabat Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi yang disebut-sebut tengah menjadi perhatian KPK, memperkuat persepsi publik bahwa pengelolaan anggaran daerah tengah berada dalam fase rawan penyimpangan.
Meski seluruh pihak yang disebut masih harus menjunjung asas praduga tak bersalah, situasi ini menegaskan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan data anggaran agar kepercayaan publik tidak semakin tergerus.
Hingga berita ini diterbitkan, Disnaker Kabupaten Bekasi belum memberikan jawaban tertulis dan terperinci atas permintaan klarifikasi redaksi, termasuk data output program, indikator kinerja, serta evaluasi pelaksanaan kegiatan tahun-tahun sebelumnya.
Dalam konteks pengawasan publik, satu prinsip menjadi kian relevan:
uang rakyat wajib dijelaskan secara terbuka dan terukur, bukan sekadar dibantah secara lisan terlebih di tengah sorotan hukum dan isu OTT yang sedang membayangi birokrasi Bekasi.
(Red)
